Perjuangkan Tongkonan Tua Jadi Cagar Budaya, Eva Rataba Janji Datangkan Komisi X DPR RI ke Toraja
- account_circle Monika Rante Allo
- calendar_month Sel, 7 Okt 2025
- visibility 1.873
- comment 1 komentar

Anggota Komisi X DPR RI, Fraksi Nasdem, Eva Stevany Rataba. (MRA/Kareba Toraja).
palevioletred-llama-408678.hostingersite.com, RANTEPAO — Eksekusi yang terkesan brutal terhadap sejumlah objek sengketa perdata (termasuk di dalamnya rumah adat Tongkonan) yang dilakukan oleh pengadilan di Toraja beberapa waktu terakhir ini menimbulkan keprihatinan mendalam dari masyarakat maupun tokoh-tokoh politik.
Salah satunya adalah anggota Komisi X DPR RI, Eva Stevany Rataba. Politisi Partai Nasdem ini menyatakan sangat prihatin atas sedih atas tindakan eksekusi (yang beberapa diantaranya menggunakan alat berat jenis excavator) untuk merobohkan Tongkonan yang berdiri di atas lahan sengketa.
“Sebagai putri yang lahir dan besar di Toraja, saya sangat prihatin melihat Tongkonan dieksekusi seperti itu. Tapi seperti yang berulang kali saya katakan bahwa keputusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, mesti kita hormati, tapi kita juga mesti menghargai masyarakat adat,” kata Eva Stevany Rataba dalam keterangan kepada wartawan usai membuka kegiatan Pelatihan Pembuatan dan Editing Video yang dilaksanakan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Hotel Misiliana Rantepao, Senin, 6 Oktober 2025.
Pada saat keterangan itu disampaikan, di Pengadilan Negeri Makale, Tana Toraja tengah berlangsung aksi unjuk rasa penolakan eksekusi terhadap sebuah Tongkonan yang diklaim sudah berusia sekitar 300 tahun, yakni Tongkonan Ka’pun di Kecamatan Kurra, Tana Toraja.
Sebelumnya, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia dengan Komisi X DPR RI, Rabu, 27 Agustus 2025, Eva Stevany Rataba juga menyuarakan keprihatiannya atas eksekusi yang sudah terjadi maupun rencana eksekusi terhadap Tongkonan Ka’pun di Kurra, Tana Toraja.
Namun Eva tidak hanya menyatakan prihatin. Dia berjanji akan melakukan langkah-langkah politik untuk menyelamatkan Tongkonan sebagai identitas suku Toraja dari upaya-upaya eksekusi di masa mendatang.
“Ada saran, ide, atau masukan kepada saya oleh sejumlah pihak yang menginginkan agar Tongkonan-tongkonan tua yang ada di Toraja (Tana Toraja dan Toraja Utara) ini diusulkan menjadi cagar budaya. Saya pikir itu ide yang bagus,” kata Eva.
Apalagi, Komisi X DPR RI, dimana Eva Stevany Rataba bergabung saat ini adalah komisi yang mempunyai mitra kerja dengan instansi atau Lembaga negara yang mengurusi masalah cagar budaya.
“Doakan ya, mudah-mudahan dalam waktu dekat ini saya bisa membawa teman-teman dari Komisi X DPR RI untuk berkunjung ke Toraja dalam rangka upaya kita mengusulkan tongkonan-tongkonan tua ini menjadi cagar budaya,” kata Eva lagi.
Untuk diketahui, Toraja baru memiliki dua objek yang diakui secara nasional sebagai cagar budaya kategori situs, yakni situs megalith Kalimbuang Bori’ di Kabupaten Toraja Utara dan Perkampungan Tradisional Ke’te Kesu’, juga di Kabupaten Toraja Utara. Ini berdasarkan Keputusan Mendikbudristek Nomor 58/M/2022, Nomor 59/M/2022, Nomor 60/M/2022, Nomor 61/M/2022, dan Nomor 145/M/2022.
Sedangkan untuk tingkat Provinsi, baru beberapa situs yang dicatat sebagai cagar budaya, diantaranya Tongkonan Papa Batu Tumakke, Liang Sang Duni, Liang Suaya, Sillanan, dan Tampang Allo di Kabupaten Tana Toraja. Sedangkan di Kabupaten Toraja Utara, diantaranya situs Buntu Pune, Buntu Remen Kandeapi, Londa, Pala’ Tokke, Palawa’, Rante Karassik, dan Bangunan Gereja Toraja Jemaat Rantepao. (*)
- Penulis: Monika Rante Allo
- Editor: Arthur
Mgk tdk terlalu tepat jika ditetapkan sebagai situs cagar budaya karena situs cagar budaya menunjuk sebuah lokasi. Semntara tongkonan di toraja ratusan jumlahnya.
Pertanyaan yang sangat baik dan relevan, terutama dalam konteks pelestarian budaya Toraja.
Tongkonan sebagai institusi atau lembaga kekerabatan dapat diajukan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb)dgn fokus pada nilai, fungsi sosial, dan tradisi yang hidup, bukan pada bentuk fisik bangunannya (arsitektur)
Tongkonan sebagai Lembaga Kekerabatan
bukan sekadar rumah adat, melainkan:
Institusi sosial dan genealogis, tempat asal dan pusat identitas satu rumpun keluarga.
Simbol kesatuan darah (pa’rapuan) dan pemusatan hak-hak adat.
Tempat pengambilan keputusan adat, pelaksanaan ritual, dan pewarisan nilai-nilai leluhur.
2. Fokus Warisan Budaya Takbenda
UNESCO dan Kemendikbudristek (melalui Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya) mendefinisikan Warisan Budaya Takbenda (WBTb) sebagai:
> “Segala praktik, ekspresi, pengetahuan, dan keterampilan yang diwariskan dari generasi ke generasi.”
Maka, yang bisa diajukan bukan bangunan fisik tongkonan, melainkan sistem sosial dan nilai-nilai adat yang hidup di dalamnya, misalnya:
Sistem kekerabatan Tongkonan (struktur, fungsi, hak dan kewajiban anggota).
Ritual adat yang berpusat di Tongkonan (misalnya Ma’bua, Rambu Solo’, Rambu Tuka’).
Nilai gotong royong (si’kambi’/pa’rapuan) dalam pemeliharaan Tongkonan.
Hukum adat dan musyawarah Tongkonan sebagai lembaga sosial.
3. Kriteria agar dapat diajukan sebagai WBTb
Agar “Tongkonan sebagai Lembaga Kekerabatan” bisa diajukan, harus memenuhi kriteria berikut:
Kriteria UNESCO / Kemendikbud Penerapan pada Tongkonan
Masih hidup dan dipraktikkan oleh komunitas Tradisi kekerabatan Tongkonan masih dijalankan oleh keturunan dan masyarakat adat Toraja.
Diwariskan dari generasi ke generasi Nilai dan fungsi sosial Tongkonan terus diajarkan pada anak cucu.
Memberi rasa identitas dan kesinambungan budaya Tongkonan adalah simbol identitas keluarga dan suku.
Memiliki nilai universal kemanusiaan Mengandung nilai persatuan, gotong royong, dan keseimbangan sosial.
Ada upaya pelestarian oleh komunitas Melalui yayasan adat, keluarga besar, atau lembaga budaya Toraja.
Artinya, Tongkonan sebagai sistem sosial-adat Toraja sangat memenuhi kriteria yang sama.
5. Langkah Pengusulan ke WBTb Nasional
Jika ingin diajukan:
1. Inventarisasi lokal oleh komunitas dan pemerintah daerah (Dinas Kebudayaan).
2. Penyusunan naskah deskripsi WBTb, termasuk sejarah, makna, fungsi, dan upaya pelestarian.
3. Verifikasi oleh Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) wilayah Sulawesi Selatan.
4. Pengusulan ke Kemendikbudristek (Jakarta) untuk penetapan sebagai WBTb Nasional.
5. Setelah diakui nasional, bisa didorong ke UNESCO sebagai Intangible Cultural Heritage of Humanity.
8 Oktober 2025 11:15 am