OPINI: Eksekusi Tongkonan; Ketika Kepastian Hukum Mengabaikan Kearifan Lokal
- account_circle Redaksi
- calendar_month Ming, 6 Jul 2025

Proses eksekusii rumah adat Toraja yang terjadi di Makale Utara, Tana Toraja, beberapa waktu lalu. Kasus ini menyita perhatian warga Toraja. (Foto: dok. istimewah).
Oleh: Dr.Marthen B.Salinding,S.H,M.H*
Per tanggal 3 Juli 2025, publik dikejutkan oleh beredarnya video eksekusi rumah adat Tongkonan dan lumbung padi oleh Pengadilan Negeri Makale, Tana Toraja. Putusan pengadilan memang telah berkekuatan hukum tetap, dan eksekusi adalah bagian dari upaya negara menegakkan kepastian hukum. Namun, cara pelaksanaannya—menggunakan alat berat untuk merobohkan simbol budaya Toraja—meninggalkan luka sosial dan memperlihatkan gugurnya kearifan lokal yang selama ini dibanggakan.
Dari perspektif hukum positif, eksekusi adalah kewajiban pengadilan dalam menjamin hak pihak yang menang. Namun hukum tidak boleh buta terhadap konteks sosial-budaya. Tongkonan bukan sekadar bangunan, melainkan simbol identitas, silsilah, dan spiritualitas masyarakat Toraja.
Menghancurkannya dengan alat berat tanpa pendekatan kultural mencerminkan hilangnya kepekaan terhadap hukum adat, bahkan menunjukkan lunturya wibawa Parandangan Ada’—lembaga adat yang selama ini menjaga harmoni sosial.
Ironisnya, Toraja kerap dipromosikan sebagai destinasi budaya dengan slogan “Toraja dikenal karena adatnya.” Namun peristiwa ini justru mempertanyakan relevansi slogan tersebut.
Ketika rumah adat dapat dihancurkan atas nama hukum, ketika lembaga adat tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik yang menyentuh jantung identitas lokal, maka kita patut bertanya; apakah nilai-nilai adat masih dihormati, atau sekadar menjadi dekorasi pariwisata?
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan memberi mandat perlindungan terhadap warisan budaya. Pengadilan pun seharusnya tidak hanya mengedepankan asas legal-formal, melainkan juga asas keadilan substantif dan sosial. Perlu pendekatan dialogis yang mengintegrasikan hukum negara dan hukum adat, bukan menegasikan salah satunya.
Kita sedang dihadapkan pada pilihan: apakah hukum hanya akan menjadi alat kekuasaan yang kaku, ataukah menjadi ruang keadilan yang menghargai nilai-nilai lokal? Peristiwa ini harus menjadi peringatan keras bahwa tanpa penghormatan terhadap budaya lokal, penegakan hukum bisa berubah menjadi alat peminggiran jati diri masyarakat.
Tongkonan yang runtuh bukan hanya bangunan yang roboh, tetapi cerminan retaknya hubungan antara hukum negara dan jiwa masyarakat adat. Jika ini terus terjadi, maka Toraja akan kehilangan bukan hanya rumah adatnya, tapi juga jiwa adatnya. (*)
Dr.Marthen B.Salinding,S.H,M.H
Pemerhati Hukum dan Budaya, Dosen Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan
- Penulis: Redaksi
Saat ini belum ada komentar